Breaking News

Syekh Arsyad al-Bantani, Sang Pahlawan Geger Cilegon

 


Perlawanan Syekh Arsyad Thawil al-Bantani pun berkobar yang disebut sebagai Geger Cilegon.

OLEH MUHYIDDIN

Banten merupakan salah satu daerah tempat peradaban Islam bersinar terang di Bumi Nusantara. Di sana, banyak ulama serta pejuang Muslim lahir dan berkiprah demi syiar agama dan kedaulatan bangsa. Salah seorang di antara mereka adalah Syekh Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani.

Tokoh ini turut berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya sangat besar, khususnya dalam peristiwa Perang Cilegon yang terjadi pada 9-30 Juli 1888. Karena itu, kehidupan murid Syekh Nawawi al-Bantani ini patut dikenang. Keteladanannya layak dicontoh generasi kini dan mendatang.

Ia lahir di Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten. Tidak ada sumber yang pasti mengenai hari dan bulan kelahirannya. Bagaimanapun, pada batu nisannya tergurat keterangan tahun lahir, yakni 1851 M. Ayahandanya merupakan Imam As’ad bin Mustafa, seorang ulama yang mendirikan pondok pesantren di Tanara. Adapun ibundanya bernama Ayu Nazham.

Saat masih kecil, Arsyad menerima pendidikan dasar Islam dari ayahnya sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajarinya ialah bahasa Arab, mengaji Alquran, hingga fikih dan tauhid. Dengan penuh ketekunan, dia menyerap berbagai pengetahuan yang diajarkan kepadanya.

Pada saat berusia belasan tahun, Arsyad muda juga pernah menimba ilmu di beberapa pesantren. Salah satu lembaga tempatnya menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh Syekh Sahal—termasuk guru Syekh Nawawi al-Bantani. Selain itu, remaja ini juga menjadi santri di pesantren yang dibina Syekh Yusuf Purwakarta.

Pada 1867 atau ketika usianya menginjak 16 tahun, Arsyad melakukan perjalanan menuju Bima, Pulau Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), untuk belajar kepada Syekh Abdul Ghani. Tak disangka, baru sampai di Surabaya, dia berpapasan dengan sang syekh. Ternyata, bakal gurunya itu hendak menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Arsyad tidak hanya diterima sebagai murid Syekh Abdul Ghani. Sang alim bahkan mengajaknya turut serta untuk pergi ke Makkah.

Gayung bersambut. Arsyad tidak hanya diterima sebagai murid Syekh Abdul Ghani. Sang alim bahkan mengajaknya turut serta untuk pergi ke Makkah. Setelah menyiapkan perbekalan, berangkatlah pemuda ini ke Tanah Suci. Mengikuti jejak para pendahulunya, ia tak sekadar menunaikan haji, tetapi juga menuntut ilmu di Hijaz.

Dalam penelitiannya yang berjudul “Syekh Mohammad Arsyad Thawil 1851-1934: Perjumpaan Ulama Banten dengan Jemaat Kristen Minahasa”, Almunawar bin Rusli menjelaskan, Arsyad Thawil al-Bantani bertolak ke Makkah bersama dengan Syekh Abdul Gani sekitar tahun 1868. Arsyad tinggal di kota suci itu selama lima tahun, yakni antara 1868 dan 1873.

Pada periode awal rihlah keilmuannya di Makkah, pemuda ini menimba ilmu kepada Syekh Abdul Ghani Bima. Selang beberapa lama, dia belajar kepada banyak alim ulama di Masjidil Haram. Dari mereka, ia mendapatkan berbagai pelajaran dan hikmah.

Tercatat, Arsyad Thawil pernah mengikuti kajian yang dipimpin oleh mufti Makkah kala itu, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan. Kepadanya, ia mendalami ilmu-ilmu nahwu, fikih, dan sirah Nabawiyah. Selain itu, ia juga belajar kepada beberapa ulama lainnya di Makkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Sayyid Abu Bakri Syatha.

Arsyad tidak hanya diterima sebagai murid Syekh Abdul Ghani. Sang alim bahkan mengajaknya turut serta untuk pergi ke Makkah.

Saat di kota kelahiran Nabi SAW itu, Syekh Arsyad juga sempat menumpang tinggal di rumah Syekh Nawawi al-Bantani, yakni kawasan Perkampungan Syi’ib Ali, dekat Masjidil Haram. Tentunya, hal itu membuktikan dekatnya hubungan antara guru dan murid. Apalagi, keduanya sama-sama berasal dari Banten.

Orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, pernah memuji para ulama Banten yang menimba ilmu di Tanah Suci. Katanya, “The most highly esteemed leaders of the intellectual movement originate in most cases from Banten.” Artinya kira-kira, ‘sebagian besar ulama yang paling dihormati sekaligus penggagas gerakan intelektual berasal dari Banten.’

Gelar syekh diperoleh Arsyad Thawil dari Raja Abdul Muthalib sejak bertugas mengurus proses perjalanan haji. Pada masa itu—dan bahkan hingga saat ini—Nusantara merupakan penyumbang jumlah jamaah terbanyak tiap musim haji. Di Makkah, lelaki asal Tanara, Banten, itu menikah dengan Siti Chadidjah. Pasangan ini dikaruniai seorang anak bernama As’ad.

Jejak perjuangan
Pada 1893, Syekh Arsyad Thawil kembali ke Tanah Air. Kala itu, Banten baru saja menghadapi bencana besar, yakni letusan Gunung Krakatau. Peristiwa alam yang terjadi pada 1883 itu merenggut nyawa sekurang-kurangnya 36.417 orang. Sesudah itu, sebagian Jawa dilanda wabah penyakit pada 1885.

Kesengsaraan rakyat makin berat. Sebab, pemerintah kolonial Belanda terus menindas mereka. Para ulama dan kaum petani setempat tidak tinggal diam. Mereka bersepakat untuk melakukan perang total, melawan kesewenangan penjajah.

Kabar tersebut kemudian sampai ke telinga sejumlah alim ulama berdarah Banten di Makkah. Di antaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdul Karim al-Bantani. Mereka merestui perjuangan saudara-saudara sebangsa dan seiman itu.

Sejumlah tokoh lokal memotori perlawanan rakyat. Mereka, antara lain, ialah Syekh Wasid Beji, Syekh Arsyad Qoshir, Syekh Marzuqi, Syekh Tb Ismail, dan Syekh Yahya. Dukungan juga datang dari Muslimin di seluruh Banten, khususnya Serang dan Cilegon.

Dalam situasi demikian, Syekh Arsyad Thawil turut berperan bersama para pionir perjuangan. Ia mengikuti rapat rahasia dengan para tokoh ulama dan masyarakat tani.

Disepakatilah sejumlah lokasi yang akan dijadikan basis-basis perlawanan. Salah satu tempat di antaranya adalah kediaman Syekh Arsyad di Kampung Lampuyang. Jaraknya cukup jauh dari pusat keresidenan. Alhasil, mata-mata Belanda dan polisi kolonial dinilai tidak akan mudah mendeteksinya.

Sebagai kamuflase, mereka seakan-akan sedang membuat syukuran atau pengajian biasa. Padahal, berbagai strategi pertempuran dirumuskan di sana.

Di rumah sang syekh, para tokoh kerap mengadakan pertemuan. Sebagai kamuflase, mereka seakan-akan sedang membuat syukuran atau pengajian biasa. Padahal, berbagai strategi pertempuran dirumuskan di sana.

Umat Islam pun mulai mengangkat senjata untuk berjihad, termasuk Syekh Arsyad Thawil. Perannya dalam menggerakkan perlawanan terhadap penjajah Belanda sangat signifikan. Dengan menyediakan rumahnya sebagai markas, itu menunjukkan semangat yang luar biasa untuk membela kedaulatan umat Islam dan bangsa.

Para ulama telah menyepakati, tanggal 9 Juli 1888 sebagai waktu awal dimulainya jihad. Sasaran utamanya adalah kantor asisten residen Banten di Cilegon, yakni tempat Asisten Goebels bekerja. Perlawanan pun berkobar hingga 30 Juli 1888. Kalangan sejarawan menyebut peristiwa itu Geger Cilegon

Syekh Arsyad dikenal sebagai seorang tokoh utama dalam Geger Cilegon. Ia termasuk kalangan ulama paling dicari penjajah. Meski Geger Cilegon berhasil membunuh asisten residen Goebels dan banyak orang Belanda lainnya, perang tersebut berjalan tidak seimbang.

Kekuatan kaum pribumi dapat diatasi dengan relatif singkat. Apalagi, pemerintah kolonial mendatangkan bala bantuan dari Batavia dengan persenjataan yang lengkap.

Dengan datangnya armada tambahan itu, Belanda dapat makin memukul mundur perlawanan para ulama dan petani Banten. Ya, kaum pribumi “hanya” bersenjatakan golok, parang, tombak, dan keris. Setelah kalah dalam Geger Cilegon 1888, Syekh Arsyad bersama 100 pejuang lainnya ditangkap.

Setelah kalah dalam Geger Cilegon 1888, Syekh Arsyad bersama 100 pejuang lainnya ditangkap.

Pengadilan kolonial menjatuhkan vonis, ia dipenjara di Serang. Namun, selang beberapa waktu kemudian dirinya dipindahkan ke Batavia. Saat di ibu kota Hindia Belanda, orientalis Snouck Hurgronje menemuinya. Guru besar Universitas Leiden itu merasa masih bersahabat baik dengan Syekh Arsyad. Ada atau tiadanya “persahabatan” itu, tetap saja status sang alim ialah tahanan di mata kolonial. Ia pun diasingkan jauh dari Jawa, tepatnya ke Manado, Sulawesi Utara.

Koran Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1889 sempat memberitakan pengasingan empat orang pejuang pribumi dari Banten. Seorang di antaranya ialah Syekh Arsyad. Media cetak itu menyebutkan, tiga orang lainnya adalah Hadji Mohamad Arsad Toebagoes, Hadji Achmad, dan Hadji Koesiu.

Alih-alih tertekan, selama di Manado Syekh Arsyad justru terus bersemangat mendakwahkan Islam. Ia aktif mengajarkan masyarakat setempat pelbagai ilmu yang dikuasainya, seperti nahwu, sharaf, fikih, tasawuf, hadis, dan lain-lain. Murid-muridnya berasal dari banyak daerah. Tidak hanya Manado, tetapi juga Gorontalo, Ambon, Ternate, Poso, Tolitoli, Donggala, dan lain-lain.

Di kota pesisir Sulawesi Utara itu, ajal menjemputnya. Syekh Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani wafat pada Senin, 14 Zulhijah 1353 H atau bertepatan dengan 19 Maret 1935 M. Usianya saat itu ialah 84 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman keluarga Runtu, Lawangirung Wenang, Manado.

Manado, Sulawesi Utara, pada masa lalu kerap menjadi lokasi pembuangan para pejuang nasional. Alih-alih memvonis mati, pemerintah kolonial Belanda kala itu kerap membuang mereka. Tujuannya untuk mengurangi atau bahkan meniadakan pengaruh para patriot itu di tengah kaumnya.

Ada sejumlah pahlawan yang sempat menghabiskan masa pengasingannya di Manado. Sebut saja, Pangeran Diponegoro yang tiba di sana pada 12 Juni 1830. Seorang tokoh lagi yang turut mengalami nasib serupa ialah Syekh Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani.

Tidak seperti sang pangeran Yogyakarta yang “hanya” singgah dan untuk selanjutnya diasingkan di Makassar (Sulawesi Selatan), Syekh Arsyad Thawil al-Bantani menetap hingga akhir hayatnya di Manado. Di sana, ulama kelahiran Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten, itu dengan giat menyebarkan syiar Islam.

Dalam buku Sejarah Islam di Nusantara, Michael Laffan menjelaskan, Syekh Arsyad al-Bantani hidup di Manado sekitar 40 tahun lamanya. Menurut sejarawan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengasingkan tokoh Muslim ini dari Banten sejak 1889.

Begitu tinggal di kota pesisir Sulawesi Utara itu, Syekh Arsyad pun tak menghentikan langkah perjuangannya. Ia terus berkiprah hingga menjadi sosok yang dihormati masyarakat lokal.

Selepas dari penjara Manado, ia dipindahkan ke Airmadidi, Distrik Tonsea, Minahasa. Kala itu, usianya terbilang cukup muda, yakni 37 tahun. Selama di sana, Sykeh Arsyad menjadi tahanan rumah. Gerak geriknya masih sangat dibatasi.

Syekh Arsyad dikenal sebagai ulama yang mengedepankan dialog kultural daripada penghakiman iman.

Bagaimanapun, pembatasan demikian tak menghalangi semangatnya. Ia rajin berdakwah di tengah penduduk Muslim. Umat Islam di Minahasa saat itu tergolong minoritas.

Dalam buku Riwayat Hidup Kiyai H Mas Muchammad Arsyad Thawil, Yoesoef Effendi menerangkan, Syekh Arsyad dikenal sebagai ulama yang mengedepankan dialog kultural daripada penghakiman iman. Di Minahasa, dai ini menikah dengan putri mantan pendeta setempat yang telah memeluk Islam. Namanya, Magdalena Runtu. Istrinya tersebut kemudian mengubah namanya menjadi Tarhimah Magdalena Runtu.

Syekh Arsyad begitu dihormati dan dikagumi oleh umat Islam Sulawesi Utara sebagai salah satu pejuang. Pada 1918, ia sempat diizinkan pemerintah kolonial untuk kembali ke Banten. Bahkan, rezim menawarkan kepadanya jabatan sebagai penghulu di Serang.

Namun, ia menolak tawaran tersebut. Pilihannya adalah tetap tinggal di Manado untuk mendakwahkan Islam. Syekh Arsyad tidak hanya dipandang sebagai seorang ulama pejuang dalam pemberontakan Geger Cilegon. Masyarakat Manado pun memandangnya sebagai seorang patriot.

Karena jasa-jasanya, nama Arsyad Thawil juga diabadikan menjadi nama sebuah masjid di Komo Luar, Wenang, Manado: Masjid Kiai Haji Arsyad Thawil. Haul atau peringatan hari kematiannya selalu diadakan setiap tahun di masjid ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

sumber:republika

Type and hit Enter to search

Close